9/21/2009

Deadly collision in Straits of Malacca

Tubrukan  terjadi sekitar 10 mil laut (12 mil) barat daya dari Port Dickson di dalam Status(negara yang orang Malaysia dari Negeri Sembilan pada 9 sore. waktu setempat di Aug. 18, Agen Penyelenggaraan Bahari dari Malaysia berkata dalam statemen hari ini yang publikasikan. , kapal tanker yg terlibat dalam peristiwa tsb, sudah amankan pihak yg berwenang malaysia(Port Dickson untuk penyelidikan, dari informasi media setempat.

mengapa banyak Kapal-kapal membuat track pelayaran melalui selat Malaka di karenakan bisa mempersingkat jalur pelayaran sejauh 994 mil dari asia tengarah ke Timur Tengah, perjalanan via Sunda straits jelas tidak efisien dan ekonomis. Peristiwa menyoroti resiko untuk kapal yg  melayari selat malaka yg terus meningkat kepadatan lalu lintas air di sana, selat malaka terletak di antara Malaysia, Indonesia dan singapore  data jumlah kapal yg melalui selat tsb sebanyak 90,000 kapal setiap tahun. Sekitar 33 persen dari minyak mentah diangkut dengan kapal kapal internasional melalui jalur malaka strait sepanjang 600-mile (965-
kilometer) dan kepadatannya hampir enam kali lebih sibuk dibanding Suez Canal. Jika kita melihat kebelakang ke negara kita hampir semua Kecelakaan angkutan laut yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda terjadi silih berganti. Namun, akar penyebab kecelakaan angkutan laut yang secara prinsip merupakan fenomena "gegar" regulasi itu belum ditangani secara serius oleh pemerintah, khususnya departemen perhubungan.

Akibatnya bahaya maut selalu mengintai pengguna jasa angkutan laut setiap saat. Seperti halnya kecelakaan KMP Tri Star yang tenggelam di perairan Palembang dan kecelakaan kapal Senopati Nusantara di perairan Jepara baru-baru ini. Hingga saat ini pemerintah belum mampu mengatasi persoalan angkutan laut yang esensial yang menyangkut sistem pemeriksaan kepelabuhan, kelayakan kapal, hingga buruknya manajemen perusahaan pelayaran.

Pelanggaran Regulasi
Angkutan laut merupakan moda transportasi yang sarat regulasi. Untuk itu, Indonesia harus meratifikasi berbagai konvensi yang dikeluarkan oleh The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) serta berkewajiban mentaati berbagai regulasi.

Di PBB ada badan khusus yang menangani bidang maritim, yakni International Maritime Organization (IMO), yang secara umum mengatur keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta persyaratan, pelatihan dan pendidikan awak kapal.
Dengan adanya IMO tiap negara anggota (flag state) mempunyai tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya.
Namun hingga saat ini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia masih banyak yang tidak mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan banyak terjadi pelanggaran regulasi.
Prinsip dasar keselamatan pelayaran menyatakan bahwa kapal yang hendak berlayar harus berada dalam kondisi seaworthiness atau laik laut. Artinya, kapal harus mampu menghadapi berbagai case atau kejadian alam secara wajar dalam dunia pelayaran. Selain itu kapal layak menerima muatan dan mengangkutnya serta melindungi keselamatan muatan dan anak buah kapal (ABK)-nya. Kelayakan kapal mensyaratkan bangunan kapal dan kondisi mesin dalam keadaan baik. Nakhoda dan ABK harus berpengalaman dan bersertifikat. Perlengkapan, store dan bunker, serta alat-alat keamanan memadai dan memenuhi syarat. Dan yang tidak kalah penting adalah selama beroperasi di laut kapal tidak boleh mencemari lingkungan.
Kondisi di lapangan terutama di pelosok tanah air menunjukkan bahwa aturan yang menyangkut pelaporan sistem manajemen keselamatan (safety management system) sering dimanipulasi.
Padahal untuk menjaga keselamatan kapal dan lingkungan, diberlakukan sistem ISM Code yang disertai dengan Designated Person Ashore (DPA) untuk pengawasan kapal dan mana- jemen perusahaan secara periodik. Tujuan dari ISM Code adalah untuk memberikan standar internasional mengenai mana- jemen dan operasi kapal yang aman dan mencegah terjadinya pencemaran. Bagi kapal yang memenuhi regulasi akan diberikan Safety Management Certificate (SMC) sedang manajemen perusahaan pelayaran yang memenuhi regulasi diberikan Document of Compliance (DOC) oleh Biro Klasifikasi Indonesia.

Sistem Komunikasi
Penyebab kecelakaan angkutan laut yang diakibatkan cuaca badai atau gelombang pasang relatif mudah ditanggulangi, karena adanya sistem komunikasi dan laporan BMG yang semakin cepat dan akurat.
Namun pemicu terjadinya kecelakaan angkutan laut akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh pelanggaran regulasi serta mudahnya Petugas Pemeriksa Kepelabuhanan (PPK) melakukan manipulasi dalam menjalankan tugasnya. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa begitu mudahnya memanipulasi sertifikat dan dokumen untuk kapal-kapal yang sudah tua serta secara teknis tidak memenuhi kaedah seaworthiness tetapi begitu saja "disulap" sehingga bisa bebas ber- operasi.
Begitu pula, penanganan kecelakaan laut selama ini lebih bersifat administratif dan dokumentatif yang mana terapinya jauh dari akar persoalan keselamatan pelayaran. Kondisinya masih diperparah lagi dengan belum optimalnya fungsi tugas Mahkamah Maritim seperti di negara-ne- gara lain.
Akibatnya, saat terjadi kecelakaan, jaksa yang menangani perkara tersebut kurang menguasai seluk-beluk teknis yang menjadi penyebab kecelakaan angkutan laut. Dampaknya berbagai perkara kecelakaan di laut baik dalam "skala Tampomas" hingga skala yang lebih kecil tidak pernah tuntas.Hingga saat ini pemerintah, khususnya otoritas perhubungan laut, masih gagal menjalankan kewenangan PPK sesuai dengan IMO Resolution A 787 (19). Dalam hal ini implementasi port state control yang menghindarkan kapal dalam keadaan tidak aman belum dijalankan secara baik. PPK di pelabuhan-pelabuhan Indonesia masih belum melakukan penilaian dan pertimbangan secara profesional terhadap kelaikan kapal. Sehingga accidental damage atau kerusakan secara tak terduga sering dialami oleh kapal pada saat berlayar. Seharusnya PPK lebih berani melakukan detention order atau perintah penahanan terhadap kapal yang tidak laik.
Selama ini proses pemeriksaan oleh PPK atau Port State Control Officer (PSCO) lebih terkesan formalitas semu bahkan nampak basa-basi. Dilain pihak data statistik IMO menunjukkan bahwa 80 persen dari semua kecelakaan kapal di laut disebabkan oleh kesalahan manusia akibat buruknya sistem manajemen perusahaan pemilik kapal. Oleh karena ada penekanan khusus bahwa perusahaan pelayaran harus bertanggungjawab atas keselamatan kapal selain nakhoda, perwira serta ABK dari kapal itu.
Selain itu UU No 21 Tahun 1992 tentang pelayaran telah meratifikasi dan memberlakukan konvensi IMO.

Aspek Perlindungan
Yang mana terkandung beberapa konvensi antara lain Safety of Life at Sea (SOLAS), Convention 1974/78, yakni konvensi yang mencakup aspek keselamatan kapal, termasuk konstruksi, navigasi, dan komunikasi. Juga masalah Marine Pol- lution Prevention (Marpol), Convention 1973/78, yakni konven- si yang membahas aspek per- lindungan lingkungan, khususnya pencegahan pencemaran yang berasal dari kapal, alat apung dan usaha penanggulangannya.Selain itu juga Standard of Training Certification and Watchkeeping of Seafarers (SCTW) merupakan konvensi yang berisi tentang persyaratan minimum pendidikan atau pe- latihan yang harus dipenuhi oleh ABK untuk bekerja sebagai pelaut. Namun, berbagai konvensi tersebut masih belum diaplikasikan dengan baik, masih menjadi hiasan meja pejabat departemen perhubungan. Akibatnya sektor perhubungan laut di republik ini selalu dicengkeram oleh mara bahaya yang sewaktu-waktu bisa menelan korban jiwa dan harta benda pengguna jasa angkutan laut.